TANJUNGBALAI DI KANCAH MASYARAKAT EKONOMI ASEAN


Dr.BUKIT BUCHORI SIAGIAN,SE.,M.Si
BAPPEDA Kota Tanjungbalai

Kerjasama ekonomi Negara-negara ASEAN secara resmi telah mulai berlaku sejak 1 Januari 2016. Setiap negara yang masuk arena pasar bebas internasional/regional tentu yakin untuk mampu berkompetisi dengan negara lain karena punya modal daya saing ekonomi domestik yang kuat.

Dalam perspektif ekonomi regional, hakikat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah persaingan antar bangsa-bangsa se kawasan di bidang ekonomi. Dengan segala kekurangannya, Indonesia sudah terlanjur mencebur ke perdaga- ngan bebas ketika kekuatan ekonomi domestik masih rapuh. Banyak survei lembaga internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan lain-lain menunjukkan daya saing dan iklim investasi tanah air yang rendah (bahkan dibandingkan dengan negara- negara ASEAN). Kondisi ini tentu saja ironis, karena mestinya seluruh sendi ekonomi domestik telah kokoh terlebih dulu saat masuk dalam arena perdagangan internasional. Dengan demikian sebagai bagian dari kesepa- katan kerjasama ekonomi ini, suka atau tidak Indonesia harus melakukan usaha-usaha yang lebih keras untuk mampu menjadi pemain utama dalam persaingan tersebut atau kalau tidak terlalu muluk untuk memenangkannya.

Dalam pada itu, hingga saat ini masih banyak persoalan yang berkaitan dengan struktur ekonomi di dalam negeri belum kunjung selesai. Berbagai persoalan tersebut terus saja menggerogoti kemampuan Indonesia sehingga selalu kesulitan dan terseok-seok dalam pentas persaingan ASEAN.

Sebagai modal penting persaingan perdagangan dengan negara-negara Asean, dari tahun 2012 hingga 2016 misalnya, neraca perdagangan Indonesia ke Asean selalu menunjukkan keadaan defisit (BPS, 2017).

Angka-angka ini secara tersirat menunjukkan modal kompetisi yang relatif kurang bagus dari Indonesia berhadapan dengan negara kawasan Asean. Sementara itu, pergerakan nilai tukar domestik terhadap dolar Amerika, sejak tahun 2011 hingga saat ini terus mengalami pergerakan melemah. Di sisi lain daya saing perekonomian Indonesia bergerak merangkak di saat Negara-negara pesaing berlari kencang. Beberapa indikasi awal tersebut memperlihatkan begitu nyatanya kerentanan perekonomian Indonesia terhadap berbagai tantangan baik bersifat internal maupun eksternal.

Berkaca pada pengalaman implementasi Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) dan situasi perekonomian terakhir, mestinya Indonesia harus bekerja lebih keras dalam mengimbangi konsekuensi dari pemberlakuan Pasar Tunggal Asean yang tidak ringan. Dalam perjalanan pemberlakuan kebijakan ACFTA sebelumnya, Indonesia terus mengalami pembesaran defisit neraca perdagangan terhadap China sehingga menerbitkan kecemasan manfaat ACFTA tersebut bagi ekonomi nasional. Bahkan Pemerintah pernah mengumumkan defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$ 5,6 miliar.

Situasinya saat ini dengan keberadaan MEA hampir tidak jauh berbeda. Secara teoritis, Indonesia memang mempunyai peluang yang lebih baik dengan adanya kesepakatan ini dibanding negara-negara tetangga, tapi dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu bagaikan mimpi di siang bolong.

Sebagai isu paling baru, pemerintahan saat ini memang sudah mengambil beberapa kebijakan yang dimulai dengan paket kebijakan ekonomi jilid I hingga jilid XVI yang tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan berbagai macam hambatan perekonomian hingga menjadi suplemen kebijakan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi serta ke- stabilan makro ekonomi. Meski demikian, hingga paket kebijakan sampai pada jilid XVI, tetap saja perekonomian cen- derung bergerak stagnan. Ini tidak jauh berbeda dengan munculnya serangkaian kebijakan reformasi ekonomi yang diproduksi sejak 10 tahun lalu yang boleh dikatakan gagal dijalankan. Proyek revitalisasi pertanian, penguatan sektor riil, pemapanan sektor keuangan, perbaikan iklim investasi, regulasi pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur, peningkatan pasokan energi, dan lain-lain hampir seluruhnya macet di lapangan. Ditambah lagi dengan bauran kebijakan dengan pemerintah daerah yang tidak sinkron. Belum ada satupun pemerintah daerah yang menyusun kebijakan lanjutan sebagai respon terhadap sejumlah paket kebijakan ekonomi tersebut. Dengan fakta yang sedemikian rupa penulis mengamini pandangan Ahmad Erani Yustika, seorang ekonomi Indef yang ditulis di berbagai media masa yang masih sangat relevan hingga saat ini. Menurut Erani, paling tidak ada tiga masalah krusial yang harus terus menerus menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, Gerbong perekonomian nasional yang semula bertumpu kepada sektor industri (manufaktur), dalam 5 tahun terakhir justru menunjukkan kinerja yang terus menurun tren pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap PDB. Pada tahun 2012, kontribusi sektor industri terhadap PDB masih di kisaran 24%, namun pada 2016 melorot tajam menjadi 20%. Subsektor industri, seperti tekstil, alas kaki, kulit, elektronika, kayu olahan, dan lain-lain terus melalui lereng pertumbuhan yang menurun sehingga mengganggu kekuatan penetrasi ekspornya. Sebagai dampak dari gejala deindustrialisasi ini telah mengakibatkan efek domino masalah baik domestik (penurunan kesempatan kerja), maupun kesempatan untuk bersaing di pasar global. Jika problem ini tidak segera diatasi, akan semakin menyulitkan Indonesia di pentas persaingan regional.
Kedua, konektivitas dan daya dukung ekonomi domestik kenyataannya masih rawan akibat tidak ada kebijakan yang terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi. Memang pemerintah pusat telah berupaya keras untuk membangun infrastruktur yang sudah sangat lama tertinggal secara besar- besaran, serta berbagai paket kebijakan yang disebut di atas, namun tidak diimbangi dengan kebijakan yang sama oleh pemerintah daerah. Pasar ekonomi domestik masih terpecah-pecah (fragmented), yang sebagian disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang tidak mema- dai karena lambannya pemerintah daerah merespon dan mensinergikan kebijakan pembangunan infrastruktur pemerintah pusat. Pergerakan barang/jasa antar daerah tidak bisa mulus karena prasarana jalan dan pelabuhan yang tidak mendukung. Realitas ini tidak hanya mengganggu proses produksi, tetapi yang lebih penting juga menyebabkan masalah distribusi. Ditambah dengan persoalan kelangkaan listrik, energi yang kian mahal, pungutan liar, dan aneka masalah lain menyebabkan ekonomi nasional dijangkiti penyakit ekonomi biaya tinggi. Seluruh kondisi tersebut hingga kini masih memberatkan produk/jasa Indonesia untuk bersaing di pasar Asean.
Ketiga, iklim investasi di Indonesia tidak kalah mengenaskan. Di tengah lajunya kemajuan negara tetangga ASEAN dalam hal kelayakan berusaha, Indonesia masih berjalan terseok-seok. Beberapa aspek penyokong lancarnya investasi seperti pemerintahan yang bersih dan efisien, kedaulatan hukum, infrastruktur yang bagus, perizinan yang sederhana dan murah, pembebasan lahan yang cepat dan pasti, dan jaminan hak kepemilikan belum mengalami per- baikan yang berarti. Jaminan hak kepemilikan di Indonesia masih yang terburuk di Asia, perizinan masih mahal dan lama (di Asean hanya lebih bagus ketimbang Laos dan Filipina), korupsi terburuk di ASEAN, dan pembebasan lahan menjadi ganjalan serius bagi investor untuk menanamkan modalnya. Serangkaian masalah iklim investasi itu menyebabkan potensi ekonomi Indonesia yang luar biasa besar menjadi hilang begitu saja karena tertekan dengan soal-soal tersebut. Pemerintah memang sudah berjuang untuk mengatasinya, tapi hasilnya masih minim sampai hari ini.Untuk Pulau Sumatera, kajian Growth Diagnostic, Strategi Pertumbuhan Untuk Mendukung Reformasi Struktural Di Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia, 2017 mengungkap kendala-kendala lancarnya kehadiran investasi. Setali tiga uang, ragam kendala ini tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan sebelumnya. Kurangnya supply listrik, kompetensi tenaga kerja yang tidak kunjung membaik, keterbatasan infrastruktur (darat, laut udara) serta lemahnya diversifikasi produk (padi, sawit, karet) adalah bibit penyakit kronis yang sepertinya belum mau bergerak menjauh. Berbagai kendala tersebut masih mencerminkan masalah klasik yang sudah lama sekali ada dalam struktur iklim investasi.

Meskipun demikian, kajian tersebut juga memberikan ragam solusi yang semestinya disikapi oleh pihak-pihak terkait baik dari pihak pemerintah sendiri maupun dari kalangan swasta pengusaha serta tentu saja sinergi positif antara kedua stakeholder ini. Pertama, untuk menjamin ketersediaan listrik, direkomendasikan agar ijin penggunaan lahan untuk membangun energi listrik dipermudah serta mengutamakan pembangunan pembangkit listrik di dekat sumber energy. Selanjutnya pemerintah perlu memikirkan skema insentif yang menguntungkan terhadapinvestasi kelistrikan swasta. Kedua, dalam rangka mendorong kompetensi tenaga kerja, pemerintah perlu menyediakan sekolah gratis hingga perguruan tinggi. Selanjutnya perguruan tinggi harus membangun si- nergi yang kuat dengan dunia usaha serta dibarengi upgrading kompetensi tenaga pengajar secara terus menerus. Secara khusus, perlu didirikan sekolah khusus keterampilan. Ketiga, pemerintah harus mendorong pembangunan infrastruktur pendukung baik berupa pelabuhan untuk Sumut, Kepri dan Riau, rel kereta api di Sumbar dan Sumsel serta jalan di Sumut dan Lampung dan bandara di Sumsel. Keempat, menggalakkan diversifikasi produk dengan jalan mempercepat pembangunan KEK dan KI dengan memastikan progres percepatan pembebasan lahan. Selanjutnya pelabuhan khusus ekspor harus segera terealisasi dengan mempermudah perijinan bagi investor yang berorientasi transfer tehnologi dan nilai tambah. Sebagai pelengkap, pemerintah perlu melakukan kajian dalam rangka memetakan blok dan zona industri serta fasilitas pelengkap.

Awan Mendung di Langit Tanjungbalai

Dalam konteks otonomi daerah, berbagai persoalan skala nasional yang dipaparkan di atas secara langsung atau tidak telah memengaruhi dengan cara-cara yang mengganggu. Oleh karena itu, aspek penguatan ekonomi domestik berorientasi regional merupakan pekerjaan rumah yang genting.

Sebagai satu Kota dengan posisi strategis di tengah kebijakan masyarakat ekonomi ASEAN, Kota Tajungbalai harusnya mendapatkan banyak keuntu- ngan. Meski demikian alangkah baiknya jika sedikit dikupas potensi kemampuan Kota Tanjungbalai dalam menggapai keuntungan tersebut.

Beberapa data ekonomi Kota Tanjungbalai se- sungguhnya masih menunjukkan sinar kilau terang bagaikan sinar matahari pagi di hari yang cerah. Pertumbuhan ekonomi Kota Tanjungbalai beberapa tahun terakhir kerap menonjol di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Memang, pertumbuhan ekonomi terus mengalami perlambatan mulai tahun 2012 hingga tahun 2015 yaitu sebesar 6,22 % tahun 2012, menjadi 5,94 % tahun 2013 menjadi 5,78 % tahun 2014 dan 5,58 % pada tahun 2015, namun angka ini tetap berada di atas angka rata-rata laju pertumbuhan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 dan 2015 yaitu sebesar 5,23 % dan 5,10 %, dimana sebelumnya selalu berada di bawah rata-rata Provinsi. Angka pertumbuhan ekonomi ini baru berhasil kembali rebound pada tahun 2016 ke angka 5,76 %. Kekuatan pertumbuhan ekonomi ini menjadi penopang utama optimisme kinerja ekonomi Kota Tanjungbalai dari tahun ke tahun.

Lapangan usaha yang menyumbang peranan terbesar terhadap perekonomian Tanjungbalai adalah di kategori perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor yaitu sebesar 21,46 persen. Disusul industri pengolahan, pertanian, kehutanan, dan perikanan dan konstruksi yang masing-masing menyumbang peranan sebesar 18,44 persen, 17,22 persen, dan 15,67 persen. Meskipun terus mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan, situasi tersebut mengalami keadaan yang sangat berbeda dengan data pengangguran Kota Tanjungbalai. Menurut data BPS Tanjungbalai, pada tahun 2010 tingkat pengangguran terbuka Kota Tanjungbalai berada di angka 10,25 persen. Angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) mengindikasikan besarnya persentase angkatan kerja yang termasuk dalam pengangguran. Angka ini cenderung mengalami tren penaikan setiap tahun hingga tahun 2012, yakni 10,88 persen di tahun 2011 dan 14,75 persen di tahun 2012. Kemudian angka ini mengalami tren penurunan hingga tahun 2014 yakni ke angka 8,98 persen di tahun 2013 dan 8,05 persen di tahun 2014. Kemudian di tahun 2015 angka TPT ini kembali mengalami kenaikan ke angka 10,06 persen. Angka ini selalu berada di atas angka TPT Provinsi Sumatera Utara, di mana pada 2 tahun data terakhir yang disajikan (2014 dan 2015), angka TPT Provinsi Sumatera Utara masing-masing sebesar 6,23% dan 6,71%.

Selanjutnya kemiskinan juga merupakan permasalahan utama yang dihadapi Kota Tanjungbalai. Pada tahun 2009 penduduk miskin di Kota Tanjungbalai mencapai titik tertinggi dengan jumlah 28.300 jiwa atau 17.1 persen. Di tahun-tahun selanjutnya angka kemiskinan tersebut memang terus mengalami penurunan, tetapi belum pernah di bawah dua digit. Pada tahun 2012 misalnya, persentase angka kemiskinan di Kota Tanjungbalai masih di angka 14,86 persen, kemudian mengalami tren penurunan hingga tahun 2014 yakni 14,85 persen di tahun 2013 dan 14,02 di tahun 2014. Namun angka ini kemudian mengalami fluktuasi di mana kembali naik di tahun 2015 ke angka 15,08 persen dan mengalami penurunan di tahun 2016 ke angka 14,49.

Angka-angka pengangguran dan kemiskinan ini benar-benar mencemaskan bagaikan awan gelap yang mengandung badai. Ini bisa merupakan cerminan belum berhasilnya berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Kota Tanjungbalai memberikan kestabilan dalam menekan dan mengendalikan baik TPT maupun kemiskinan.

Agenda Kritis Untuk Menjemput Harapan

Paling tidak ada dua agenda penting mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah Kota Tanjungbalai jika ingin mengambil berbagai keuntungan dalam pentas ASEAN.

Pertama, program-program yang disusun harus memiliki perspektif jangka panjang dan jangan sampai kehilangan fokus. Program dan kegiatan harus mampu secara terukur dijabarkan kaitannya dengan masalah utama pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan serta kegiatan apa saja baik yang memergunakan dana pemerintah daerah di setiap organisasi perangkat daerah maupun di luar anggaran daerah (semisal dana CSR) harus terhubung langsung dengan kedua masalah tersebut. Persoalan kemiskinan misalnya tidak boleh hanya berhenti pada sekedar bantuan penyangga hidup kelompok masyarakat miskin yang mungkin diposkan di anggaran dinas sosial, tapi lebih dari itu harus mampu mengeluarkan si miskin dari statusnya (dengan melakukan kajian komprehensif tentang ragam penyebab orang menjadi miskin lalu kemudian membuat peta jalan penyelesaian masalah). Dalam konteks AFTA (MEA), ini tidak bisa ditawar lagi. Karena jika tidak, kita akan semakin kesulitan karena tidak pernah lepas dari dipusingkan dengan masalah domestik yang mengganggu.

Kedua, agenda berikutnya adalah tekad kuat mewujudkan efisiensi dan daya saing ekonomi melalui perbaikan infrastruktur, meniadakan ekonomi biaya tinggi, efisiensi perizinan investasi, dan kepastian regulasi. Ini pekerjaan rumah yang sudah lama, bahkan menjadi klise, tapi tak kunjung dituntaskan. Pemerintah harus tegas menekan pungutan liar, efisiensi izin usaha, dan kepastian regulasi karena tiga aspek itu tidak boleh dikompromikan untuk daya saing ekonomi yang kuat.

Memang banyak lagi hal lain yang penting untuk dilakukan dalam rangka mengambil keuntu- ngan pada persaingan MEA. Namun paling tidak dengan memprioritaskan kedua hal ini, pemerintah setelah lepas dari persoalan utama domestik sehingga bisa lebih leluasa menciptakan kreativitas kebijakan untuk mengisi celah-celah lainnya. Akhirnya, terlepas dari soal perjanjian pasar MEA yang sudah telanjur diratifikasi oleh Indonesia, sebetulnya separuh persoalan ekonomi nasional adalah kualitas implementasi kebijakan ekonomi (domestik) sendiri.

Hal inilah yang membuat daya saing perekonomian tidak beranjak bagus, sementara negara-negara lain telah berlari kencang. Oleh karena itu, aspek penguatan ekonomi domestik merupakan pekerjaan rumah yang genting.

Agar tidak semakin ketinggalan dan mengalami periode yang semakin memburuk, pemerintah Kota Tanjungbalai tidak boleh melepaskan pedal gas kebijakannya. Pemerintah Kota Tanjungbalai harus lebih serius dengan terus melakukan berbagai upaya sistematis guna menekan angka pengangguran dan kemiskian tersebut agar Kota Tanjungbalai bisa menjadi salah satu pintu gerbang persaingan MEA yang mendapatkan keuntungan untuk kesejahteraan rakyatnya dan agar awan mendung ekonomi tidak terus berada di atas langit Tanjungbalai.■

Diterbitkan pada Buletin Perencanaan Pembangunan Bappeda Kota Tanjungbalai
Volume 3, Bulan Desember 2017

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *