PENGOBATAN GOBUK DAN SENI TRADISI MELAYU PESISIR TANJUNGBALAI ASAHAN




PENULIS: HADI HAMDANI, S.PD, M.Sn.
Dosen Musik Instrumen Cello,  Conductor Orchestra, Arranger Musik, Budayawan, Penulis Puisi

ABSTRAK
 
Tanjungbalai Asahan dengan keberagaman suku etnis yang mendiami kota berukuran kurang lebih 60,52 km2 syarat dengan ritual yang selalu berkaitan seni-seni dalam budaya setempat. Pelbagai macam ritual yang menggunakan senandung/nandong/didong di dalamnya terdapat doa-doa dan pujian terhadap Allah SWT dengan bermacam bentuk proses dan aktifitas untuk mendapatkan keberkahan dalam tujuan pokok dari masyarakat melayu pesisir di Kota Tanjungbalai Asahan. Penggunaan instrumen ritual dalam prosesnya juga tidak luput dengan konsep-konsep falsafah pada kajian semiotika, pragmatika, etika daerah setempat, dan Agama mayoritas yang di-anut masyarakatanya. Adalah hal-hal biasa bagi masyarakat Melayu pada umumnya menggunakan pongobatan dan ritual yang berkaitan dengan penyembahan pada ruh-ruh leluhur tanpa menghilangkan keyakinan ber-agama (Islam) sebagai pondasi menjadi masyarakat yang syarat atas keyakinan kepada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta.Dalam tulisan ini, penulis memaparkan proses singkat ritual gobuk, penggunaan musik dan seni lainnya seperti tari, sastra, dan rupa yang terkandung dalam pengobatan gobuk dan gubang yang dipakai oleh masyarakat Melayu Tanjungbalai.

 

  1. Pendahuluan

Manusia modern hari ini mengalami urbanisasi pada era digital yang berdampak pada sikap, mental dan pengetahuan masyarakat yang hampir diberbagai tempat di seluruh dunia lebih mengutamakan kekinian dalam gaya hidup. Pelbagai dampak positif dan negatif juga terlihat dari efek-efek yang timbul. Faktanya, tidak sedikit masyarakat di dunia meninggalkan beberapa kebiasan yang terkait dalam budaya yang sudah disusun oleh para pendahulu pada masing-masing daerah yang melahirkan kebudayanya. Salah satunya adalah gaya busana yang selalu punya trend berubah-ubah pada masa ke masa atau juga makanan-makanan modern yang selalu punya gaya dan inofasi, hal ini dampak positif perkembangan manusia. Dampak negative yang ditimbulkan pun tidak sedikit, manusia modern merasa enggan untuk membuat atau mengulang kembali kegiatan atau hal-hal yang berkaitan dengan tradisi, karena pada pandangan egosentris yang timbul dari individual masyarakat modern dengan asumsi rasa sosial yang ketinggalan zaman, apabila terus melakukan kegiatan budaya para leluhur.

Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai berbagai macam kegiatan seni yang berkaitan dengan ritual, atau juga kegiatan ritual yang didalamnya terdapat seni-seni seperti musik, tari, rupa dan sastra. Dari berbagai kebudayaan ini melahirkan bermacam-macam falsafah yang terkandung setiap daerahnya. Falsafah yang terkait pada norma-norma dan etika membuat masyarakatnya melahirkan pula sikap, mental dan waktak kepribadian atau juga ciri orisinalitas yang menunjukkan identitas satu tempat dari mana masyarakat itu berasal.

Dari berbagai etnisitas yang terdapat di nusantara, penulis  tertarik pada kebudayaan dan tradisi yang terdapat di kota Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Adanya ancaman urbanisasi pada tradisi-tradisi leluhur, membuat penulis merasa khawatir akan punahnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual dan seni budaya yang terdapat di kota yang bernama panggilan si-kota kerang (kota korang). Kegiatan budaya dalam ranah seni seperti senandung (didong), gubang, gobuk, yang sudah mulai bergeser bahkan jarang dilakukan karena ada beberapahal yang menjadi faktor penghambat pelaksanaannya.

Terletak pada garis pantai Timur Sumatera, secara geografis Tanjungbalai Asahan mempunyai kebudayaan dan karakter masyarakat yang lahir dari kebudayan Melayu yang dibawa oleh orang-orang Malaya. Masyarakat Malaya membentuk masyarakat baru pada zaman peradaban di kota Tanjungbalai dimasa itu. Berkembang membentuk masyarakat, dan menerima perpindahan etnis lain seperti batak, bugis, minang dan lainnya, hal ini menjadikan masyrakat kota Tanjungbalai pada masa itu menjadi kota yang multikultural, bagi mayarakat yang sudah terbentuk keimanannya dalam memeluk agama Islam, juga mempengaruhi etnis lain untuk beragama dan memeluk Islam pada masa dahulu. Dari berbagai macam situasi ini mempengaruhi budaya yang ada pada masyarakatnya, hingga membentuk karakter penduduk setempat dan juga imigran yang memasuki kota ini. Dalam hal ini penulis akan manjabarkan pelbagai situasi yang mempengaruhi sistem kebudayaan dan keayakinan yang membentuk masyarakat yang syarat dengan tradisi pada masa lalu di Kota Tanjugnbalai.

Foto Pertemuan Antara sungai Asahan dan sungai Silau
(Sumber: Dokumentasi Penulis).

  1. Gambaran Umum Masyarakat Tanjungbalai
    • Letak geografis dan kondisi alam kota Tanjungbalai

Kota Tanjungbalai merupakan kota yang berada didataran rendah tepatnya pada posisi di tepi sungai Asahan yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera Utara. Kota ini mempunyai beberapa catatan sejarah daerah seperti pernah menjadi kota yang berjumlah penduduk terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per km² melalui sensus penduduk pada tahun 1986. Pada tahun 1987 kota Tanjungbalai diperluas menjadi 60,52 km² dari luas kota yang sebelumnya hanya memiliki 199 ha (2 km²). (sumber. google.com).

Kota ini terletak di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara, kondisi wilayahnya relatif datar pada ketinggian 0–3 m di atas permukaan laut, sehingga udara di kota Tanjungbalai bersuhu diatas rata-rata 300 C sampai dengan 370 C, suhu udara yang relatif panas pada daerah pesisir pantai. Dari pandangan umum secara astronomis Kota Tanjungbalai terletak pada koordinat 2058’15” – 3001’32” LU dan 99o48’00” – 99o50’16” BT, merupakan daerah yang mempunyai garis pertemuan 2 (dua) sungai besar yaitu Sungai Silau dan Sungai Asahan yang bermuara ke-Selat Malaka. (sumber. Google.com). Akses ini yang mempermudah masyrakat kota Tanjungbalai berpergian ke negara-negara tetangga yang berdekatakan dengan kota Tanjungbalai. 

  • Dominasi dan Definisi Agama Islam di Tanjungbalai

            Secara garis besar penulis sudah menjabarkan tentang Islam di Tanjungbalai. Dengan banyaknya tokoh-tokoh Islam yang lahir dan membuat satu pergerakan organisai agama dan ukuah (jalinan) persaudaraan seumat menjadi terjalin dengan sangat kuat pada masyarakat Tanjungbalai.

Dalam bukunya, Maran (2007: 70) menjelaskan pengertian tentang agama.”Agama merupakan terjemahan dari kata Inggris religion yang berasal dari bahasa Latin religio, dalam bahasa Indonesia memiliki arti religi. ’Re’ artinya adalah kembali, sedangkan ’ligare’ artinya adalah mengikat. Jadi religare/religi maksudnya adalah kehidupan beragama itu mempunyai tata aturan serta kewajiban yang harus ditaati oleh pemeluknya. Tata aturan serta kewajiban tersebut diyakini sebagai sesuatu yang diinginkan oleh Tuhan”.

Foto Masjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai.
(Sumber: Google).

Islam di Tanjungbalai mempunyai sejarah yang sangat kuat, salah satu contoh konkrit sejarah Islam di Tanjungbalai adalah berdirinya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah, dan banyaknya ulama-ulama yang lahir di kota ini, sehingga sekitar pada masa tahun 1800-an kota ini sempat disebut juga dengan kota para santri. Hal yang mempengaruhi Islam yang begitu mendominasi pada masa kejayaan kesultanan melayu di Tanjungbalai adalah banyaknya masyarakat imigran yang berpindah agama menjadi pemeluk agama Islam.

Terlihat dari banyaknya tokoh-tokoh agama yang lahir dan berasal dari kota ini seperti salah satunya Syeikh Abdul Hamid, yang juga mengembangkan Islam kepada murid-muridnya sehingga murid-muridnya mendirikan organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mazhab Syafi’i. Organisasi yang didirikan oleh murid-murid Syeikh Abdul Hamid juga memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau.

Pada masa itu, masyarakat Minang juga sudah banyak menduduki kawasan kota Tanjungbalai, dikarenakan adanya transmigrasi masyarakat dari kerajaan Pagaruyung. Mayoritas Masyarakat Minang yang berhijrah kekota ini memiliki keyakinan dalam memeluk agama yang kuat..

Melalui hasil wawancara penulis dengan bapak Abdul Khalil pada tanggal 17 Agustus 2016, perjalanan dari beberapa tokoh-tokoh Islam yang mengembangkan Islam di kota ini juga sempat membuat kota Tanjungbalai menjadi kota pelajar Islam terbaik pada masa kesultanan Sultan Muhammad Husinsyah (1813-1859). Banyaknya pelajar-pelajar dari luar kota Tanjungbalai berdatangan untuk belajar agama, kota Tanjungbalai sempat mendapati julukan kota pelajar Islam. Pengaruh ini menjadi bias pada masyarakat Tanjungbalai sampai pada masa 1990-an dengan banyaknya Qori dan Qori’ah yang masih bertahan.

Pengaruh agama yang sangat kuat pada masyarakat Tanjungbalai waktu masa kesultan dan pesatnya perkembangan agama Islam juga bergabung dengan sejalannya tradisi-tradisi yang sudah ada dan melekat pada sebagian besar masyarakat yang sudah menetap dan tinggal  dengan mempercayai, kepercayaan peninggalan leluhur. Agustoni dalam wawancara penulis pada tanggal 8 Juli 2016 menyebutkan bahwa pada masa dahulu agama yang dianut oleh masyarakat Islam di kota Tanjungbalai tidak mempermasalahkan berbagai ritual yang ada  di kota ini, masyarakatnya tetap merangkul kegiatan ritual peribadatan yang berkaitan dan sejalan dengan pemujaan leluhur. Masyarakat tersebut menggabungkan kedua unsur pengobatan, pelaksanaan upacara dan lain sebagainya dengan tujuan untuk medapatkan sesuatu kebaikan, kesembuhan dari penyakit, hingga menjadikan ruh-ruh para leluhur sebagai pusat pengantar energi yang negatif kepada orang lain (ilmu hitam).

Berbagai macam jenis ritual yang Seperti dalam ritual gubang, siar mambang, dan gobuk adalah ritual yang berhubungan dengan ruh para leluhur. Dalam budaya melayu, hal untuk mempercayai ruh-ruh nenek moyang yang telah tiada adalah hal biasa, hal ini dikarenakan ajaran yang sudah turun menurun yang diberikan secara foklor oleh masyarakatnya kepada setiap generasi ke generasi di Tanjungbalai. Bila kita melihat kebelakang tentang sejarah Nusantara agama Hindu dan Budha adalah agama yang menduduki terlebih dahulu dari pada Islam. Maka hal-hal yang berkaitan dengan mantra dan ritual yang berkaitan dengan ruang alam bawah sadar mempengaruhi peradaban masyarakat melayu.

  1. Ritual

Dari beberapa macam ritual yang ada di Tanjungbalai, seperti siar mambang, gubang, songgot, ketoguran, gobuk, upah-upah dan lainnya mempunyai peran yang khusus dalam kehidupan sosial masyarakat Tanjungbalai. Hari ini, dari beberapa ritual yang sudah dijelaskan di atas, diantaranya sudah tidak lagi dilaksanakan sebagai kegiatan sosial dan pengobatan, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman agama yang semakin kafah ditengah-tengah masyarakatnya dan juga adanya rasa malu untuk melakukan hal-hal yang bersifat gaib dan pemujaan ruh-ruh leluhur yang dianggap ketinggalan zaman, kuno, pemuja gaib, dan lainnya. Pandangan ini akan penulis angkat dalam ranah perjalanan ritual gobuk di lingkungan masyarakat Tanjungbalai sebagai ilmu pengetahuan.

  • Gobuk

Ritual gobuk merupakan pengobatan untuk kesembuhan dari penyakit yang diderita atas keinginan ruh leluhur untuk mendiami tubuh pasien. Penyakit ini merupakan penyakit keturanan yang sering disebut dengan puako bagi masyarakat Tanjungbalai. Proses dalam pengobatannya menggunakan beberapa unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan antara iman kepada Tuhan dan kepercayaan terhadap ru-ruh leluhur. Proses pengobatannya, menggunakan tata cara yang harus matang dan dipersiapkan secara detail, agar hal-hal yang menjadi keinginan dari pasien dan datuk (dukun) yang sedang dirasuki arwah leluhur dapat diselesaikan dengan baik.

Perjalanan waktu ritualnya tidak dapat ditentukan, karena syarat dengan apa yang menjadi keharusan oleh pasien. Dalam ritualnya, unsur musik dan tari adalah pendorong utama agar ritual dapat berjalan, unsur-unsur seni inilah yang menjadi daya tarik pengobatan gobuk karena menggunakan beberapa instrumen musik yang mulai punah dari masyarakat Tanjungbalai. Sedangkan tari yang digunakan adalah tari gubang yang tidak mempunyai pola gerak tari seperti tari serampang dua belas, persembahan dan tari melayu lainnya, hal ini disebabkan oleh para pelaku yang sedang menjalani ritual mengalami kerasukan ruh-ruh yang dipercayai sebagai nenek moyang. Banyak hal yang dapat dibahas dari kegiatan ritual ini, baik dari ritual itu sendiri, dari seni musik, seni tari gubang, seni rupa, dan filosifi dari kegiatan ritual itu sendiri.

  • Perlengkapan upacara ritual gobuk

Dalam pelaksanaan satu kegiaatan tidak terlepas dari perlengkapan yang dibutuhkan, ada beberapa bahan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun datuk, perlengkapan tersebut terdiri dari bahan-bahan yang paling penting untuk ritual ini. Diantara peralatan gobuk yang harus disedikan antara lain tujuh buah Gobuk (tujuh buah periuk tanah), pucuk daun kelapa muda, bengkuang, limau pagar, limau purut, bunga Setaman dalam tujuh jenis (bunga kantil warna merah dan putih, bunga cempaka, bunga kenanga, bunga mawar warna merah, putih dan kuning), kemenyan, minyak duyung (minyak wangi), kain panjang, benang tiga warna (merah, kuning, hitam), mayang Pinang (bunga pohon pinang), dan lain sebagainya.

Perlengkapan pendukung dalam pelaksanaan ritual gobuk antara lain adalah mangkuk putih untuk tempat penampungan limau yang dipotong pada saat pengobatan, pisau untuk memotong berbagai keperluan pada saat ritual berlangsung, penggunaan pisau biasanya untuk memotong limau, setepak sirih, lancang kuning, dan telur ayam kampung. (wawancara dengan bapak Ichwan, 6 juli 2016). Seluruh perlengkapan tersebut dipergunakan dalam rangkaian panjang ritual pengobatan gobuk untuk mengobati pasien yang menderita sakit puako.

  1. Seni tradisional daerah Tanjungbalai Asahan

Sebagai kota yang terletak di daerah pesisir yang memiliki masyarakat multi kultural dan memiliki sistem dasar kebudayaan Melayu, masyarakatnya menggabungkan agama, ritual dan seni dalam pengobatan tradisional gobuk. Seni yang terdapat dalam ritual ini adalah seni musik tradisional melayu dan tari tradisional melayu pesisir.

  • Seni musik tradisional Tanjungbalai

Seni musik melayu di daerah ini mempergunakan dan menggabungkan beberapa instrumen tradisional. Dari beberapa instrumen untuk memainkan musik tradisional melayu Tanjungbalai, salah satunya mempergunakan alat musik bangsi (alat musik tiup yang berukuran kira-kira 15-20 cm yang terbuat dari bambu) alat musik ini adalah alat musik yang dibawa oleh masyarakat Minang Kabau yang hijrah ke kota Tanjungbalai dan dihegemoni masyarakatnya. Pada masyarakat Minang Kabau, instrumen ini dikenal dengan sebutan bansi.

Foto dua instrumen bangsi
(arsip foto: Hadi Hamdani)

Instrumen tiup yang terbuat dari bambu ini disesuaikan dengan sistem penggunaan nada yang diadobsi oleh masyarakat Tanjungbalai, tangga nada yang dipakai adalah penggabungan tangga nada bayati yang tidak tuntas dan diselesaikan dengan ciri nada yang dipakai oleh masyarakat setempat, dan nada pentatonis dari Minang Kabau sendiri. (bayati adalah sistem tangga nada Arab dan sekitarnya di pergunakan untuk membaca Al-Qur’an, Adzan dan gaya bermusik tradisional Timur Tengah).

Selain bangsi beberapa instrumen lainnya seperti gendang melayu juga dipergunakan  dengan teknik yang tradisional oleh musisi yang memainkan intrumen ini, biola, tawak-tawak juga turut untuk mengambil peran untuk mengisi ritmis musik yang dimainkan oleh musisinya. (instrumen gong yang berukuran sedang), akordion, dan didong atau juga senandong.

Foto gendang, tawak-tawak (gong), bangsi, dan gobuk.
(arsip foto: Hadi hamdani)

Dalam proses memainkan musik untuk mengiringi ritual ini, ada yang berperan sebagai pendidong atau sering disebut sebagai penyenandung atau juga sendandung. Senandong yang dipergunakan dalam proses ritual ini adalah senandong puji-pujian terhadap Allah SWT, permintaan kepada ruh leluhur dan alam semesta.

Bismillahhirromanirrohim
Batang paun batang cendana
Batang kayu dengan daeknya
Datang tuan datanglah nyawa
Datang dengan budibaiknya
Hendak diruag tidak teruang
Sedah menjadi sibuluh gading
Hendak dibuang tidak terbuang
Sudah menjadi sidarah daging
dan berkat La Ilahaillah…

Di atas ini adalah salah satu pujian yang dipergunakan dalam permintaan dan doa pada proses ritual. Dalam pujian tersebut terdapat kalimat-kalimat yang biasanya dipergunakan dalam gaya dialog pantun pada masyarakat Melayu.

  • Seni Tari tradisional Tanjungbalai

Dari berbagai seni tari tradisional Melayu yang ada di wilayah Tanjungbalai Asahan, seperti serampang dua belas, mak inang pulau kampai, persembahan, ternyata tarian ini adalah tarian melayu yang berhegemoni dari wilayah Serdang Bedagai ke Tanjungbalai. Tarian yang merupakan asli dari masyarakat Tanjungbalai itu sendiri, tarian ini adalah tarian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Asahan pada masa dulu. Gerakannya bersifat tariannya mengayun-ayunkan tangan yang bergerak seperti gerakan ombak. Penulis skeptis dengan tarian ini bahwa gerakan-gerakan yang lahir dari tari gubang tersebut adalah pengaruh dari wilayah masyarakat Tanjungbalai yang berdapingan dengan pesisir laut, yang kesehariannya adalah bernelayan dan menggunakan sungai sebagai salah satu jalur hinterland dan trasportasi.

Pada tarian gubang yang digunakan dalam ritual gobuk, tidak menggunakan pola yang terstruktur seperti tari melayu yang lain, sifat tarian yang ada pada ritual ini adalah tarian yang bergerak membentuk pola asal yang dikarenakan pelaku tarinya sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri karena raga dari pasien dan datuk yang mengobati sedang di masuki ruh-ruh leluhur. Dari hasil wawancara penulis dengan salah satu pemusik yang memainkan bangsi yang bernama bapak Ucok mengatakan bahwa hamper semua yang memainkan musik yang mengiringi tarian dalam ritual ini juga dalam keadaan diantara sadar dan tidak sadar sehingga tidak merasakan kelelahan pada saat memainkan musik iringan tarian gubang tersebut.■

Daftar pustaka

Barthes Roland. 1990. “Imaji Musik Teks”. London. Fortana Press.
Dharsono. 2007. “Estetika”. Bandung: Rekayasa Sains.
Djelantik, A.A.M. 1999. “Estetika Sebuah Pengantar”. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Hoed, H. Benny. 2014. “Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya”. Depok: Komunitas Bambu.
Smiers, Joost. 2009. “Arts Under Pressure”. Yogyakarta. INSISTPress.
Kontjaraningrat. 1987. “Sejarah Teori Antropogi”. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kontjaraningrat. 2009. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: Perbit PT. Rineka Cipta.
Malm, William P. 1977. “Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia”. Universitas Sumatera Utara Press.
Pateda, Prof. DR. Mansoer. 2010. “Semantik Leksikal”. Jakarta: penerbit PT. Rineka Cipta.
Raga Maran, Rafael. 2007. “Manusia Dan Kebudayaan Dalam Persfektif Ilmu Budaya Dasar”. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Rouget, Gilbert. 1980. “Music And Trance”.  London: The University Of Chicago Press

DAFTAR INFORMAN

  1. Nama : Agus Toni, S.Pd.

Usia           : 60 tahun
Alamat      : Tanjung Balai
Pekerjaan  : Guru seni budaya/ Budayawan kota Tanjung Balai

  1. Nama : Ucok

Usia            : 64 tahun
Alamat       : Tanjung Balai
Perkerjaan : Seniman Melayu kota Tanjung Balai

  1. Nama : Zainal

Usia           : 81 tahun
Alamat      : Tanjung Balai
Pekerjaan : Paranormal

  1. Nama : Hasnuddin

Usia           : 78 tahun
Alamat      : Tanjung Balai
Pekerjaan  : Seniman

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *